Data tak bisa begitu saja dijadikan acuan yang valid, apalagi sebagai referensi akademik.
RABU, 1 DESEMBER 2010, 17:31 WIB
Renne R.A KawilarangVIVAnews - Laman WikiLeaks membuat heboh banyak kalangan, baik di AS dan mancanegara, terkait pemuatan informasi-informasi yang diklaim berkategori rahasia. Namun pemuatan rentetan informasi ini terasa janggal. Jangankan informasi berkatagori rahasia (classified/secret), referensi yang sifatnya sudah tidak lagi terlarang untuk umum (declassified) di Amerika Serikat (AS) sulit diperoleh bila tanpa lewat proses tertentu.
Demikian ungkap sejarawan Indonesia, F.X. Baskara Wardaya. "Pengungkapkan informasi sensitif seperti di laman WikiLeaks itu bukan sesuatu yang biasa dalam dunia arsip dan intelijen," kata Baskara saat dihubungiVIVAnews, Rabu 1 Desember 2010.
Penilaian Baskara itu terkait klaim pengelola WikiLeaks bahwa laman itu memperoleh ratusan ribu informasi berkatagori rahasia, baik yang berupa memo atau laporan diplomatik dari sejumlah kedutaan besar dan departemen luar negeri AS mengenai sikap para pemimpin dan pemerintah sejumlah negara atas beragam isu yang isinya sangat berbeda dengan yang diutarakan ke publik ataupun tidak pernah dipublikasikan.
Menurut Baskara, jangankan informasi yang sifatnya masih rahasia, referensi yang sifatnya sudah tidak lagi terlarang untuk umum (declassified) di Amerika Serikat (AS) tidak dapat begitu saja diakses. Ada syarat-syarat tertentu.
"Di AS, perlu jangka waktu tiga puluh tahun sebelum menyatakan suatu arsip sejarah tidak lagi bersifat rahasia atau declassified. Bahkan bila tokoh sejarah yang bersangkutan masih hidup, maka belum boleh dibuka [ke publik]," kata Baskara, yang pernah mengakses arsip-arsip sejarah di AS untuk keperluan penelitian.
Bila sudah dinyatakan declassified, bukan berarti langsung bisa diakses oleh siapa saja. "Ini tidak mudah karena hanya orang tertentu saja yang bisa mengakses setelah mendapat izin dari pihak berwenang. Biasanya akses ke arsip sejarah itu diberikan untuk keperluan penelitian akademik," kata Baskara, penulis buku "Membongkar Supersemar! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno" (2007).
Maka, pengajar sejarah di Universitas Sanata Darma dan Universitas Gajah Mada itu mengingatkan bahwa WikiLeaks tidak bisa begitu saja dijadikan acuan yang valid, apalagi sebagai referensi akademik yang sahih.
"Laman itu hanya penampung informasi-informasi yang diklaim berkategori rahasia dan tidak dimaksudkan sebagai referensi akademik. Kebenaran informasi tetap harus dikonfirmasi kepada pihak-pihak terkait," kata Baskara.
Wikileaks mengungkapkan bahwa satu set lengkap dokumen itu terdiri dari 251.287 data dan terdiri dari 261.276.536 kata. "Ini tujuh kali lebih banyak dari 'The Iraq War Logs,' yang merupakan bocoran informasi rahasia yang sudah dipublikasikan sebelumnya," tulis Wikileaks.
Satu set dokumen itu menghimpun laporan kawat diplomatik dari tanggal 28 Desember 1966 hingga 28 Februari 2010. Kumpulan data berasal dari 274 Kedubes, konsulat, dan kantor misi diplomatik AS di mancanegara. (umi)
Demikian ungkap sejarawan Indonesia, F.X. Baskara Wardaya. "Pengungkapkan informasi sensitif seperti di laman WikiLeaks itu bukan sesuatu yang biasa dalam dunia arsip dan intelijen," kata Baskara saat dihubungiVIVAnews, Rabu 1 Desember 2010.
Penilaian Baskara itu terkait klaim pengelola WikiLeaks bahwa laman itu memperoleh ratusan ribu informasi berkatagori rahasia, baik yang berupa memo atau laporan diplomatik dari sejumlah kedutaan besar dan departemen luar negeri AS mengenai sikap para pemimpin dan pemerintah sejumlah negara atas beragam isu yang isinya sangat berbeda dengan yang diutarakan ke publik ataupun tidak pernah dipublikasikan.
Menurut Baskara, jangankan informasi yang sifatnya masih rahasia, referensi yang sifatnya sudah tidak lagi terlarang untuk umum (declassified) di Amerika Serikat (AS) tidak dapat begitu saja diakses. Ada syarat-syarat tertentu.
"Di AS, perlu jangka waktu tiga puluh tahun sebelum menyatakan suatu arsip sejarah tidak lagi bersifat rahasia atau declassified. Bahkan bila tokoh sejarah yang bersangkutan masih hidup, maka belum boleh dibuka [ke publik]," kata Baskara, yang pernah mengakses arsip-arsip sejarah di AS untuk keperluan penelitian.
Bila sudah dinyatakan declassified, bukan berarti langsung bisa diakses oleh siapa saja. "Ini tidak mudah karena hanya orang tertentu saja yang bisa mengakses setelah mendapat izin dari pihak berwenang. Biasanya akses ke arsip sejarah itu diberikan untuk keperluan penelitian akademik," kata Baskara, penulis buku "Membongkar Supersemar! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno" (2007).
Maka, pengajar sejarah di Universitas Sanata Darma dan Universitas Gajah Mada itu mengingatkan bahwa WikiLeaks tidak bisa begitu saja dijadikan acuan yang valid, apalagi sebagai referensi akademik yang sahih.
"Laman itu hanya penampung informasi-informasi yang diklaim berkategori rahasia dan tidak dimaksudkan sebagai referensi akademik. Kebenaran informasi tetap harus dikonfirmasi kepada pihak-pihak terkait," kata Baskara.
Wikileaks mengungkapkan bahwa satu set lengkap dokumen itu terdiri dari 251.287 data dan terdiri dari 261.276.536 kata. "Ini tujuh kali lebih banyak dari 'The Iraq War Logs,' yang merupakan bocoran informasi rahasia yang sudah dipublikasikan sebelumnya," tulis Wikileaks.
Satu set dokumen itu menghimpun laporan kawat diplomatik dari tanggal 28 Desember 1966 hingga 28 Februari 2010. Kumpulan data berasal dari 274 Kedubes, konsulat, dan kantor misi diplomatik AS di mancanegara. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar